Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menolak kebijakan yang diusulkan oleh DPR yang memberikan hak kepada perguruan tinggi dan UKM untuk mengelola lahan tambang. “Benar (menolak). Tidak ada istilah prioritas, saya meminta keadilan. Jika ingin melibatkan semua pihak, silakan. Namun, harus dilakukan melalui lelang terbuka,” kata Meidy seperti yang dilaporkan oleh Antara pada Rabu (22/1/2025). Meidy menyatakan bahwa organisasi masyarakat sipil keagamaan dan institusi pendidikan tinggi memiliki kemampuan yang berbeda dalam pengelolaan lahan pertambangan. Apabila organisasi masyarakat keagamaan dan institusi pendidikan tinggi ingin berpartisipasi dalam pengelolaan lahan tambang, sebaiknya dilakukan klasifikasi dan spesifikasi lelang yang sesuai dengan kapasitas masing-masing. Sebagai contoh, ditetapkan batasan A dengan luas 100 hektar, serta kriteria kemampuan dan jumlah alat berat yang diperlukan, jelas Meidy. Dengan cara ini, pihak-pihak yang ingin dilibatkan oleh pemerintah dapat mengelola lahan tambang sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Meidy menekankan pentingnya memperhatikan kemampuan organisasi masyarakat keagamaan dan institusi pendidikan tinggi dalam pengelolaan sektor pertambangan, mengingat bahwa tambang memiliki risiko yang tinggi, memerlukan investasi yang besar, serta keterampilan yang mumpuni. "Ketidakpastian dalam regulasi membuat para pengusaha, tidak hanya di sektor nikel, merasa putus asa. Selain itu, situasi di lapangan juga sangat menantang," ungkap Meidy. Revisi UU Minerba: Perguruan Tinggi dan UKM Bisa Kelola Tambang Badan Legislasi (Baleg) DPR RI memberikan sinyal yang menggembirakan bagi perguruan tinggi dan usaha kecil dan menengah (UKM) untuk memperoleh wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK). Kebijakan ini diusulkan sebagai langkah untuk memberikan manfaat langsung kepada masyarakat yang tinggal di sekitar area pertambangan. Ketua Baleg DPR RI, Bob Hasan, menyatakan bahwa selama ini pembahasan sering kali lebih memfokuskan pada prioritas organisasi masyarakat (ormas) keagamaan dalam pengelolaan pertambangan. Namun, ia juga menekankan pentingnya melibatkan perguruan tinggi dan UKM dalam proses tersebut. "Seperti yang sering kita dengar, pentingnya memberikan prioritas kepada ormas keagamaan dalam pengelolaan pertambangan, begitu pula dengan perguruan tinggi dan tentunya UKM, usaha kecil, dan lain-lain," ungkap Bob Hasan dalam rapat pleno penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 mengenai Mineral dan Batu Bara (Minerba), yang dikutip dari Antara, Rabu (22/1/2025). Rapat pleno yang dilaksanakan di tengah masa reses ini bertujuan untuk membahas dan menyepakati revisi UU Minerba dengan cepat. Bob Hasan menjelaskan bahwa pemberian WIUPK kepada perguruan tinggi, UKM, dan ormas keagamaan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar tambang. "Dengan adanya pemberian WIUPK, masyarakat di sekitar wilayah pertambangan tidak hanya akan terpapar debu batu bara atau dampak negatif lainnya dari eksploitasi mineral dan batu bara. Ini adalah kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat secara langsung," tambahnya. Pasal Baru dalam UU Minerba Baleg DPR RI berencana untuk menambahkan pasal baru dalam revisi UU Minerba, yaitu Pasal 51A. Pasal ini mengatur bahwa WIUP mineral logam akan diberikan secara prioritas kepada perguruan tinggi. Selain itu, terdapat ketentuan tambahan mengenai pemberian WIUP: Pasal 51A ayat (1): WIUP mineral logam akan diprioritaskan untuk perguruan tinggi. Pasal 51A ayat (2): Pertimbangan dalam pemberian WIUP kepada perguruan tinggi akan diatur lebih rinci. Pasal 51A ayat (3): Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian WIUP akan diatur melalui peraturan pemerintah (PP). Di samping itu, Baleg DPR juga berencana untuk menetapkan aturan bahwa izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas kurang dari 2.500 hektare akan diprioritaskan untuk usaha kecil dan menengah (UKM) lokal.